Minggu, 25 Januari 2009

WASPADAI ALIRAN SESAT

AWAS ALIRAN SESAT MERAMBAH INDONESIA

Alternatif Solusi untuk Ahmadiyah

Ahmadiyah menganggap ada rasul setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Ini bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits serta jumhur ‘ulama yang berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak ada Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad SAW.

Dalilnya di antaranya:

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…” [Al Ahzab:40]

Rasulullah SAW menegaskan: “Rantai Kerasulan dan Kenabian telah sampai pada akhirnya. Tidak akan ada lagi rasul dan nabi sesudahku”. (Tirmidhi, Kitab-ur-Rouya, Bab Zahab-un-Nubuwwa; Musnad Ahmad; Marwiyat-Anas bin Malik).

Nabi Muhammad SAW: “Akan ada pada umatku 30 pendusta semuanya mengaku nabi, dan saya penutup para Nabi dan tidak ada nabi setelahku” [HR Abu Daud]

Dalil selengkapnya bisa dilihat di:

http://syiarislam.wordpress.com/2007/09/27/dalil-nabi-muhammad-nabi-terakhir

Oleh karena itu bukan hanya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan perwakilan ormas Islam di Indonesia, tapi juga para ulama di seluruh dunia yang tergabung dalam Rabithah ‘Alam Islami (Liga Dunia Muslim) berfatwa Ahmadiyah itu sesat.

Kelompok Ahmadiyah, Islam Liberal, dan Non Muslim membela Ahmadiyah. Sementara ummat Islam lainnya (MUI, NU, Muhammadiyah, DDII) menganggap Ahmadiyah sesat. Melihat pro kontra tentang Ahmadiyah di Indonesia, menurut saya ada 3 alternatif solusi untuk itu:

1. Jika anggota Ahmadiyah ingin tetap di dalam Islam, maka dia harus mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir. Dia harus mengingkari bahwa siapa pun setelah Nabi Muhammad SAW, termasuk Mirza Ghulam Ahmad, bukanlah Nabi atau Rasul.

Ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, DDII, siap membantu anggota Ahmadiyah yang ingin kembali dalam ajaran Islam yang benar sesuai Al Qur’an dan Hadits.

2. Jika anggota Ahmadiyah tetap ingin mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai rasul, dia harus menyatakan diri keluar dari Islam. Membentuk agama baru yang ajarannya berbeda dengan Islam yaitu agama Ahmadiyah. Di Pakistan Ahmadiyah di anggap sebagai Non Muslim. Jika sudah jadi agama tersendiri, maka Ahmadiyah bukan lagi aliran sesat dalam Islam karena dalam Islam ada ajaran „Untukmu agamamu dan untukku agamaku“

3. Jika Ahmadiyah tetap ngotot mengaku sebagai Islam, tapi juga tetap berkeras menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi maka Ahmadiyah adalah aliran sesat. Ini masuk dalam penistaan agama dan harus ditindak oleh negara sesuai dengan pasal penistaan agama. Saat ini banyak orang-orang Ahmadiyah yang menyusup ke milis-milis Islam tapi menyiarkan paham bahwa ada Rasul setelah Nabi Muhammad SAW. Ini akhirnya menimbulkan perdebatan yang tidak ada akhir dan membuat ummat Islam jadi terganggu kegiatannya dalam mempelajari ajaran Islam yang benar sesuai Al Qur’an dan Hadits.

Menurut saya 3 alternatif tersebut cukup luwes dan memberi kebebasan bagi anggota Ahmadiyah untuk memilih mana yang mereka mau selama tidak melakukan penistaan terhadap agama Islam.

Kebebasan beragama dihargai dalam Islam selama dia beragama Islam dengan benar (bukan aliran sesat) atau beragama lain seperti Hindu, Budha, Kristen, dan sebagainya. Tapi jika dia mengaku Islam, maka dia harus menjalankan agama Islam dengan konsekwen. Bukan merusak atau menista ajaran Islam dengan aliran sesat.

Kebebasan beragama dihormati.

Tapi aliran sesat harus ditindak.

DI POSTING DARI http://www.media-islam.or.id/2008/06/16/3-alternatif-solusi-untuk-ahmadiyah/


MUI: 10 (Sepuluh) Kriteria Aliran Sesat

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan 10 kriteria aliran sesat. Apabila ada satu ajaran yang terindikasi punya salah satu dari kesepuluh kriterai itu, bisa dijadikan dasar untuk masuk ke dalam kelompok aliran sesat

1. Mengingkari rukun iman (Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari Akhir, Qadla dan Qadar) dan rukun Islam (Mengucapkan 2 kalimat syahadah, sholat 5 waktu, puasa, zakat, dan Haji)

2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Alquran dan as-sunah),

3. Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran

4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran

5. Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir

6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam

7. Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul

8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir

9. Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah

10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i

di posting dari http://www.media-islam.or.id/2007/11/09/mui-sepuluh-kriteria-aliran-sesat/

Hilangnya Gadis-gadis karena Aliran Sesat Al Qur’an Suci

Aliran Al Qur’an suci sesat karena tidak mengakui hadits sebagai pedoman atau ingkar sunnah / hadits. Sebetulnya selain ingkar sunnah aliran ini juga sesat karena ingkar Al Qur’an dengan mengajarkan perzinahan padahal Allah melarangnya:

”Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” [Al Israa’:32]

Banyak gadis-gadis yang menghilang dari keluarganya karena berkumpul bersama dan berzinah bersama kelompok Aliran Al Qur’an Suci.

Cara merekrutnya misalnya dengan mengajak ikut pengajian kepada perempuan yang sholat di masjid-masjid.

Untuk menghindari hal ini sebaiknya jika ada orang tak dikenal mengajak ikut pengajian, berhati-hatilah. Ikutilah pengajian yang memang sudah dikenal baik sejak lama seperti pengajian At Tahiriyah, DDII (Dewan Dakwah), Asy Syafi’iyah, Muhammadiyyah, majelis Az Zikro Arifin Ilham, dsb. Jangan mengikuti orang yang belum kita kenal.

Polisi dengan menghilangnya banyak gadis karena aliran Al Qur’an suci hendaknya segera bertindak dan mencari pimpinan kelompok Al Qur’an suci agar tidak meresahkan masyarakat.

Mahasiswi Hilang Misterius, Diduga Ikut Aliran Sesat

Antara. Karawang (ANTARA News) - Sejak 9 September 2007 lalu, mahasiswi D-III Politeknik Pajajaran “Insan Cinta Bangsa” Bandung, Semester III, Achriyanie Yulvie (19), warga Perumnas Bumi Telukjambe Blok T Nomor 536 RT 06/11, Kabupaten Karawang, Jabar, tidak diketahui keberadaannya, setelah ikut pengajian “al-Qur`an Suci” di Bandung.

Menurut keterangan yang dihimpun ANTARA, pengajian “al-Qur`an Suci” disinyalir aliran sesat, karena mengajarkan manusia hanya berpedoman kepada al-Qur`an, tanpa hadits.

Akibat hal tersebut, Suprapto dan Tati mengaku sangat sedih karena merasa kehilangan anak pertamanya. Sementara adik Yulvie, Anggi Kartika (16) dan Indira Aulia (10), kata Suprapto, selalu menanyakan Yulvie yang pada awalnya sangat dekat dengan kedua adiknya itu.

“Saya bingung harus bagaimana dan mencari ke mana? Saya sudah melapor ke kantor polisi di Bandung (Kiara Condong), sampai sekarang tidak ada kabar. Kepada orang pintar juga saya sudah melaporkan kejadian ini, tetap tidak ada kabar. Saya bingung. Ibunya Yulvie dan kedua adiknya juga selalu menangis kalau mengingat Yulvie,” katanya.

Sesuai dengan kabar dari salah seorang teman Yulvie, Serly (19), kata Suprapto, anak kesayangannya itu ikut pengajian “al-Qur`an Suci” karena diajak oleh seorang perempuan tak dikenal di sebuah masjid di Kota Bandung.

http://www.antara.co.id/arc/2007/10/5/mahasiswi-hilang-misterius-diduga-ikut-aliran-sesat/

Polres Cirebon Deteksi Aliran Qur’an Suci

Cirebon, NU Online

Jajaran Polres Cirebon melakukan deteksi dini atas penyebaran ajaran sesat yang menamakan diri Al Quran Suci menyusul laporan hilangnya Tuffatul Maulidia (20), mahasiswi Akademi Analis Kesehatan “An Naser” Kaliwadas, Kab Cirebon, yang diduga ikut “hijrah” bersama aliran itu.

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10566

Aliran Sesat di Indonesia, Mengapa Semakin Merajalela?

AnTV. Jakarta, 28 Oktober 2007 – Aliran sesat atau aliran yang dianggap menyimpang saat ini semakin merajalela. Sebut saja aliran Ahmadiyah, Salamullah, Isa Bugis, Baha’i, Al Qur’an Suci dan yang baru-baru ini merebak Al Qidayah Al Islamiyah.

Ahmadiyah misalnya – yang mulai populer di indonesia pada tahun 2000-an, dianggap sesat karena mengakui keberadaan nabi lain yaitu Mirza Ghulam Ahmad yang berasal dari India, setelah Nabi Muhammad SAW. Meskipun tidak mengeluarkan syariat-syariat baru namun keresahan warga menyebabkan sejumlah basis Ahmadiyah di Kuningan – Jawa Barat dan Lombok – NTB dihancurkan massa.

Lalu kita juga mengenal aliran Salamullah, yang menghimpun semua agama dan dipopulerkan oleh Lia Aminuddin. Lia yang mengaku sebagai Imam Mahdi dan jelmaan roh Mariam juga mengeluarkan kitab suci yang dinamakan Ruhul Kudus. Putusan pengadilan membuat Lia kini mendekam di LP Pondok Bambu Jakarta.

Pertengahan tahun ini muncul aliran baru yaitu aliran Al Qur’an Suci di Bandung – Jawa Barat yang selain menafikan perlunya wudhu ketika beribadah sholat atau menghalalkan perzinahan, juga tidak mengakui keberadaan hadis. Seorang intelektual muda Bandung yang mantan pengikut aliran Al Qur’an Suci membagi pengalamannya

http://www.an.tv/s/?sid=4&newsid=7560


Ahmadiyah Paham Sesat - Menyesatkan dan Bukan Aliran (Mazhab) Islam

Raja Arab Saudi saat itu, Faisal, menganggap mereka sebagai aliran sesat dan melarang anggotanya di seluruh penjuru dunia memasuki kota suci Islam, seperti Makkah dan Madinah untuk menjalankan ibadah haji. Melalui Surat No 8/1/10/B-374/1401, tanggal 6 Mei 1981, Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta bahkan meminta Menteri Agama melarang Ahmadiyah dan menjelaskan kesesatan serta kekafirannya kepada seluruh masyarakat Indonesia....

Soal kesesatan Ahmadiyah, bukan rahasia lagi, terutama bagi lembaga-lem baga Islam di Indonesia. Pada 1980, Musyawarah nasional ke-2 Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan bahwa Ahmadiyah adalah jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Keputusan itu ditandatangani bersama antara Ketua dan Sekum MUI saat itu, masing-masing Buya HAMKA dan Drs. H. Kafrawi MA serta Menteri Agama RI ketika itu Alamsyah Ratu Prawiranegara, tanggal 17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan 1 Juni 1980 M.

Sikap kontra Ahmadiyah juga ditunjukkan sejumlah negara. Pakistan misalnya, menetapkan bahwa anggota Ahmadiyah, baik kelompok Qadian maupun Lahore adalah kelompok minoritas non-Muslim. Ketentuan ini bahkan dimuat dalam Undang-Undang Dasar negara Republik Islam Pakistan.

Arab Saudi malah jauh lebih maju. Raja Arab Saudi saat itu, Faisal, menganggap mereka sebagai aliran sesat dan melarang anggotanya di seluruh penjuru dunia memasuki kota suci Islam, seperti Makkah dan Madinah untuk menjalankan ibadah haji. Melalui Surat No 8/1/10/B-374/1401, tanggal 6 Mei 1981, Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta bahkan meminta Menteri Agama melarang Ahmadiyah dan menjelaskan kesesatan serta kekafirannya kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Rabithah Alam Islami, sebuah organisasi Islam dunia juga menyatakan Ahmadiyah Qadiyan adalah kafir dan keluar dari Islam. Jiran Indonesia, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam tidak ketinggalan mengambil sikap tegas terhadap Ahmadiyah: melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh teritorial mereka.
Sikap sejumlah negara itu sungguh paradoks dengan sikap Pemerintah Indonesia. Sejak pertama kali isu Ahmadiyah muncul, pemerintah cenderung cuek alias acuh tak acuh. Hingga detik ini, pemerintah belum melarang “agama” produk Mirza Ghulam Ahmad ini di seluruh wilayah Indonesia. Larangan tersebut baru bersikap lokal, sehingga aliran ini masih punya kesempatan besar untuk “memasarkan” ajarannya di republik ini.

Ironisnya, rekomendasi Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) Pusat yang terdiri dari sejumlah instansi seperti Polri, Kejakgung, Depag, Deplu, BIN, Deplu, MUI, sama sekali mandeg di Kejakgung. “Kejakgung tidak berwenang melarang, karena itu wewenang presiden langsung,” ujar Kasubid Pakem Kejakgung RI, Sutian Usman Adji, menangkis tudingan itu.

Sikap pemerintah itu langsung atau tidak langsung, memberi angin bagi Ahmadiyah. Gerakan Ahmadiyah merasa bebas hidup, seperti kelompok Islam lainnya. Bahkan sejak pertama kali masuk ke Indonesia, tahun 1925, jumlah pengikutnya semakin berkembang.

Pesatnya perkembangan Ahmadiyah dapat dilihat dari hasil investigasi Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), pimpinan Amin Djamaluddin. Tahun 1989, jumlah cabang Ahmadiyah disinyalir baru 150 cabang di seluruh Indonesia. Namun hanya dalam kurun waktu sepuluh tahun (1999), cabangnya membengkak menjadi 228 buah.

“Ini hasil investigasi kami selama dua puluh tahun. Fenomena ini tak lepas dari cita-cita mereka menjadikan Indonesia sebagai pusat Ahmadiyah dunia,” ujar pria kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sudah puluhan tahun malang melintang meneliti berbagai aliran dan paham sesat di Indonesia ini.
Setuju atau tidak, sikap pemerintah itu pula yang memicu pecahnya kasus Parung tanggal 15 Juli 2005 lalu. Lantaran kesal dengan ulah Ahmadiyah yang mengobok-obok akidah umat Islam dan kelambanan pemerintah menangani kasus ini, sepuluhan ribu umat Islam “menyerang” markas Ahmadiyah di Kampus Mubarak, Parung, Bogor. Beruntung para alim ulama segera turun, sehingga tindakan ini tidak mengarah anarkis dan tidak menimbulkan kerusakan berarti.

Belajar dari kasus Ahmadiyah, bagaimana sikap yang seharusnya diambil pemerintah? Pandangan Ketua Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Irfan S. Awwas layak disimak. Menurut Irfan, pemerintah tidak seharusnya membiarkan kehadiran berbagai aliran sesat terus-menerus meresahkan umat.
“Jika dibiarkan, niscaya akan terus menyulut bara api permusuhan yang dapat membakar siapa saja dan menghanguskan apa saja,” tegasnya, kesal dengan sikap segelintir tokoh yang mendukung gerakan Ahmadiyah seperti Dawam Rahardjo dan kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL), pimpinan Ulil Abshar Abdalla.

Irfan berpandangan, selama ini, terutama di era Soeharto, pemerintah cenderung “memelihara” berbagai aliran sesat di Indonesia. Pemerintah, menurut Irfan, juga cenderung menjadikan mereka sebagai basis dukungan politik, seperti terjadi pada Islam Jamaah (LDII).

Akibatnya, masih kata Irfan, muncul keresahan di masyarakat dan memicu munculnya Sikondomek (situasi kondisi domestik) berupa: Pertama, membuka peluang lahirnya praktik eigenrichting (main hakim sendiri). Kedua, memotivasi gerakan petualang untuk melakukan aksi radikal dengan mencari pembenaran atas nama agama. Ketiga, menegaskan berbagai aliran sesat itu merupakan sekte piaraan penguasa yang sengaja dibiarkan beroperasi sebagai agen ghazwul fikri.

Hal serupa dikemukakan Wakil Ketua KISDI KH A Kholil Ridwan. “Seyogianya pemerintah sudah lama menentukan sikap dengan tidak membiarkan berkembangnya ajaran yang merusak dan menodai Islam,” tulisnya pada sebuah surat kabar nasional.

Memang, tidaklah mungkin melarang setiap orang untuk memeluk suatu agama atau sekte tertentu, seperti Ahmadiyah, Islam Liberal, Islam Jamaah dan lainnya, namun tulisnya, negara bertanggung jawab melindungi agama dari berbagai upaya perusakan, sehingga ada sanksi pidana tentang penodaan agama. “Adalah absurd dan naif jika suatu negara membiarkan paham apa saja berkembang dan disebarluaskan secara bebas di negaranya,” tambah pimpinan Pondok Pesantren Husnayain ini.

Selain Ahmadiyah, berbagai aliran dan paham sesat tumbuh subur di Indonesia. Bersama perjalanan waktu, mereka berkembang dan membentuk jaringan ke seluruh Indonesia secara terus-menerus. Bahkan, mereka mulai menunjukkan gigi pasca-runtuhnya rezim Soeharto tahun 1998 lalu. Berbagai aliran dan paham sesat itu bermunculan, bak cendawan di musim hujan.

Satu di antaranya adalah Salamullah. Salamullah adalah aliran sesat yang menghimpun semua agama (parenialisme). Pendiri aliran ini bernama Lia Aminuddin. Kepada setiap orang, janda paruh baya ini mengaku mendapat wahyu dari Allah, sebagai nabi dan rasul.

Kesesatan Salamullah masih panjang. Selain mengaku sebagai nabi dan rasul, Lia mengangkat dan mengakui putranya, Ahmad Mukti, sebagai Nabi Isa. Berikutnya, Abdul Rahman, diyakininya sebagai Imam Besar Salamullah. Bahkan mencukur semua jenis rambut yang ada di tubuh, mulai dari kepala, ketiak dan lainnya, lalu membakarnya, dianggap sebagai bentuk ibadah yang diperintahkan Jibril, melalui Lia Aminuddin. Dan, menurut paham ini, barang siapa yang melakukan itu semua sama dengan bayi yang baru dilahirkan.

Paham Lia ini memicu sikap tegas MUI. Tahun 1997, MUI menganggap, paham Lia Aminuddin sebagai paham sesat dan meny
esatkan karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. MUI juga meminta pemerintah untuk melarang aliran ini. Sayangnya, hingga saat ini pemerintah belum juga menindak tegas aliran ini.

Ajaran Inkar Sunnah tak kalah sesatnya. Aliran yang marak sekitar 1980-an ini tidak percaya kepada semua hadits Rasulullah saw. Menurut mereka, hadits itu bikinan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dasar hukum dalam Islam, menurut mereka hanyalah al-Qur’an saja. Kewajiban berpuasa menurut paham ini, hanya wajib bagi orang yang melihat bulan. Sebaliknya, tidak wajib bagi orang yang tidak melihat bulan. Mereka berpendapat demikian merujuk pada ayat faman syahida minkumusy syahra fal yashumhu.

Menurut mereka, haji boleh dilakukan selama empat bulan haram, yaitu Muharram, Rajab, Zulqaidah dan Zulhijjah. Mereka tidak mengakui pakaian ihram sebagai pakaian haji. Bagi mereka, ihram adalah pakaian orang Arab dan bikin repot. Oleh karena itu, menurut aliran sempalan ini, waktu mengerjakan haji boleh memakai celana panjang dan baju biasa serta memakai jas atau dasi.

Setelah berbagai protes dari umat Islam bermunculan, tanggal 7 September 1985, Kejakgung mengeluarkan keputusan, melarang buku-buku Inkar Sunnah beredar di Indonesia. Namun dengan “memakai baju” lain, belakangan paham ini kembali muncul di tengah masyarakat. Mereka kembali mencetak berbagai buku dan menyebarkannya ke masyarakat secara gratis.

Cerita sempalan juga ada di balik Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Seperti disebut dalam Capita Selecta Aliran-aliran Sempalan di Indonesia, terbitan LPPI, (2002), LDII adalah nama baru dari aliran sempalan yang selama ini sudah berganti-ganti nama. Lembaga ini didirikan oleh mendiang Nurhasan Ubaidah Lubis. Tahun 1951, bernama Darul Hadits. Setelah dilarang Pakem Jawa Timur, aliran ini berubah nama menjadi Islam Jamaah. Kemudian Islam Jamaah ini pun dilarang. Agar bisa eksis, Nurhasan Ubaidah mendekati Wakil Kepala Bakin saat itu Ali Moertopo dan masuk menjadi underbouw Golkar. Ali Moertopo adalah seorang jenderal yang dikenal anti-Islam.

Di bawah naungan partai “Pohon Beringin”, Islam Jamaah makin berkibar, apalagi setelah mengubah nama dengan Lemkari. Namun kemudian pada musyawarah Lemkari IV di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta November 1990, Lemkari berganti nama menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Bagi pengikut Islam Jamaah/Lemkari/LDII, orang Islam di luar mereka adalah kafir dan najis. Jika ada orang di luar kelompok mereka yang melakukan shalat di masjid mereka, maka bekas tempat shalatnya dicuci karena dianggap sudah terkena najis.

Al-Qur’an dan Hadits yang boleh diterima para pengikut aliran sempalan ini adalah yang manqul atau yang keluar dari mulut imam atau amir mereka. Sementara Qur’an dan Sunnah yang keluar dari mulut orang lain dianggap haram untuk diikuti.

Persis aliran lainnya, meskipun dilarang, namun Islam Jamaah/Lemkari/LDII saat ini masih eksis. Mereka bebas menyebarkan pahamnya ke masyarakat. Bahkan cabangnya sudah menyebar ke seluruh nusantara. Tak hanya di kota, juga merambah ke daerah-daerah perpencil.

Saking banyaknya aliran dan paham nyeleneh di Indonesia, laporan ini belum bisa mengungkap semuanya. Yang pasti, sampai sekarang, meski sudah ada yang dilarang, toh tetap saja eksis dan menyebarkan pahamnya. Itu yang dilarang, apalagi yang belum keluar surat larangan. Sebut saja di antaranya, Ajaran Teguh Esha, Isa Bugis, Bijak Bestari, JIL, Lembaga Kerasulan.

Baru-baru ini juga muncul aliran sesat baru, seperti Pondok al-Mardhiyah, di Petemon, Surabaya, Jawa Timur dan paham “shalat bilingual” pimpinan Yusman Roy di Malang. Di Probolinggo, sebuah padepokan bernama Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam merilis buku tafsir yang isinya nyeleneh. Bukunya berjudul Menembus Gelap Menuju Terang. Di luar itu semua, masih banyak lagi. Membiarkan hidup aliran dan paham sempalan di Indonesia, apalagi yang sudah jelas-jelas kesesatannya, hanya akan mendatangkan kemudharatan. Jika ini terus berlanjut, tentu umat Islam tak kan tingal diam. Demi kemurnian akidah Islam, meski tak main hakim sendiri, umat Islam akan bersikap tegas, membasmi berbagai aliran dan paham sesat di Indonesia. Maka, sudah seharusnya pemerintah bertindak cepat, melarang paham sesat di seluruh wilayah Indonesia. Jika tidak, awas, bisa-bisa keduluan massa kaum Muslimin, yang tidak rela kemurnian agamanya dirusak.

Jika sejumlah negara seperti Pakistan, Arab Saudi, Brunei Darussalam dan Malaysia berani dengan tegas melarang paham dan aliran sesat dari negaranya, maka, mestinya Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia tidak membiarkan paham sesat itu berkambang. Tapi, mengapa republik ini seperti kegigit lidah? Bagaimana Pak Presiden?

[sabili]

Tidak ada komentar: