Minggu, 25 Januari 2009

WASPADAI ALIRAN SESAT

AWAS ALIRAN SESAT MERAMBAH INDONESIA

Alternatif Solusi untuk Ahmadiyah

Ahmadiyah menganggap ada rasul setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Ini bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits serta jumhur ‘ulama yang berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak ada Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad SAW.

Dalilnya di antaranya:

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…” [Al Ahzab:40]

Rasulullah SAW menegaskan: “Rantai Kerasulan dan Kenabian telah sampai pada akhirnya. Tidak akan ada lagi rasul dan nabi sesudahku”. (Tirmidhi, Kitab-ur-Rouya, Bab Zahab-un-Nubuwwa; Musnad Ahmad; Marwiyat-Anas bin Malik).

Nabi Muhammad SAW: “Akan ada pada umatku 30 pendusta semuanya mengaku nabi, dan saya penutup para Nabi dan tidak ada nabi setelahku” [HR Abu Daud]

Dalil selengkapnya bisa dilihat di:

http://syiarislam.wordpress.com/2007/09/27/dalil-nabi-muhammad-nabi-terakhir

Oleh karena itu bukan hanya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan perwakilan ormas Islam di Indonesia, tapi juga para ulama di seluruh dunia yang tergabung dalam Rabithah ‘Alam Islami (Liga Dunia Muslim) berfatwa Ahmadiyah itu sesat.

Kelompok Ahmadiyah, Islam Liberal, dan Non Muslim membela Ahmadiyah. Sementara ummat Islam lainnya (MUI, NU, Muhammadiyah, DDII) menganggap Ahmadiyah sesat. Melihat pro kontra tentang Ahmadiyah di Indonesia, menurut saya ada 3 alternatif solusi untuk itu:

1. Jika anggota Ahmadiyah ingin tetap di dalam Islam, maka dia harus mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir. Dia harus mengingkari bahwa siapa pun setelah Nabi Muhammad SAW, termasuk Mirza Ghulam Ahmad, bukanlah Nabi atau Rasul.

Ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, DDII, siap membantu anggota Ahmadiyah yang ingin kembali dalam ajaran Islam yang benar sesuai Al Qur’an dan Hadits.

2. Jika anggota Ahmadiyah tetap ingin mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai rasul, dia harus menyatakan diri keluar dari Islam. Membentuk agama baru yang ajarannya berbeda dengan Islam yaitu agama Ahmadiyah. Di Pakistan Ahmadiyah di anggap sebagai Non Muslim. Jika sudah jadi agama tersendiri, maka Ahmadiyah bukan lagi aliran sesat dalam Islam karena dalam Islam ada ajaran „Untukmu agamamu dan untukku agamaku“

3. Jika Ahmadiyah tetap ngotot mengaku sebagai Islam, tapi juga tetap berkeras menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi maka Ahmadiyah adalah aliran sesat. Ini masuk dalam penistaan agama dan harus ditindak oleh negara sesuai dengan pasal penistaan agama. Saat ini banyak orang-orang Ahmadiyah yang menyusup ke milis-milis Islam tapi menyiarkan paham bahwa ada Rasul setelah Nabi Muhammad SAW. Ini akhirnya menimbulkan perdebatan yang tidak ada akhir dan membuat ummat Islam jadi terganggu kegiatannya dalam mempelajari ajaran Islam yang benar sesuai Al Qur’an dan Hadits.

Menurut saya 3 alternatif tersebut cukup luwes dan memberi kebebasan bagi anggota Ahmadiyah untuk memilih mana yang mereka mau selama tidak melakukan penistaan terhadap agama Islam.

Kebebasan beragama dihargai dalam Islam selama dia beragama Islam dengan benar (bukan aliran sesat) atau beragama lain seperti Hindu, Budha, Kristen, dan sebagainya. Tapi jika dia mengaku Islam, maka dia harus menjalankan agama Islam dengan konsekwen. Bukan merusak atau menista ajaran Islam dengan aliran sesat.

Kebebasan beragama dihormati.

Tapi aliran sesat harus ditindak.

DI POSTING DARI http://www.media-islam.or.id/2008/06/16/3-alternatif-solusi-untuk-ahmadiyah/


MUI: 10 (Sepuluh) Kriteria Aliran Sesat

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan 10 kriteria aliran sesat. Apabila ada satu ajaran yang terindikasi punya salah satu dari kesepuluh kriterai itu, bisa dijadikan dasar untuk masuk ke dalam kelompok aliran sesat

1. Mengingkari rukun iman (Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari Akhir, Qadla dan Qadar) dan rukun Islam (Mengucapkan 2 kalimat syahadah, sholat 5 waktu, puasa, zakat, dan Haji)

2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Alquran dan as-sunah),

3. Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran

4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran

5. Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir

6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam

7. Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul

8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir

9. Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah

10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i

di posting dari http://www.media-islam.or.id/2007/11/09/mui-sepuluh-kriteria-aliran-sesat/

Hilangnya Gadis-gadis karena Aliran Sesat Al Qur’an Suci

Aliran Al Qur’an suci sesat karena tidak mengakui hadits sebagai pedoman atau ingkar sunnah / hadits. Sebetulnya selain ingkar sunnah aliran ini juga sesat karena ingkar Al Qur’an dengan mengajarkan perzinahan padahal Allah melarangnya:

”Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” [Al Israa’:32]

Banyak gadis-gadis yang menghilang dari keluarganya karena berkumpul bersama dan berzinah bersama kelompok Aliran Al Qur’an Suci.

Cara merekrutnya misalnya dengan mengajak ikut pengajian kepada perempuan yang sholat di masjid-masjid.

Untuk menghindari hal ini sebaiknya jika ada orang tak dikenal mengajak ikut pengajian, berhati-hatilah. Ikutilah pengajian yang memang sudah dikenal baik sejak lama seperti pengajian At Tahiriyah, DDII (Dewan Dakwah), Asy Syafi’iyah, Muhammadiyyah, majelis Az Zikro Arifin Ilham, dsb. Jangan mengikuti orang yang belum kita kenal.

Polisi dengan menghilangnya banyak gadis karena aliran Al Qur’an suci hendaknya segera bertindak dan mencari pimpinan kelompok Al Qur’an suci agar tidak meresahkan masyarakat.

Mahasiswi Hilang Misterius, Diduga Ikut Aliran Sesat

Antara. Karawang (ANTARA News) - Sejak 9 September 2007 lalu, mahasiswi D-III Politeknik Pajajaran “Insan Cinta Bangsa” Bandung, Semester III, Achriyanie Yulvie (19), warga Perumnas Bumi Telukjambe Blok T Nomor 536 RT 06/11, Kabupaten Karawang, Jabar, tidak diketahui keberadaannya, setelah ikut pengajian “al-Qur`an Suci” di Bandung.

Menurut keterangan yang dihimpun ANTARA, pengajian “al-Qur`an Suci” disinyalir aliran sesat, karena mengajarkan manusia hanya berpedoman kepada al-Qur`an, tanpa hadits.

Akibat hal tersebut, Suprapto dan Tati mengaku sangat sedih karena merasa kehilangan anak pertamanya. Sementara adik Yulvie, Anggi Kartika (16) dan Indira Aulia (10), kata Suprapto, selalu menanyakan Yulvie yang pada awalnya sangat dekat dengan kedua adiknya itu.

“Saya bingung harus bagaimana dan mencari ke mana? Saya sudah melapor ke kantor polisi di Bandung (Kiara Condong), sampai sekarang tidak ada kabar. Kepada orang pintar juga saya sudah melaporkan kejadian ini, tetap tidak ada kabar. Saya bingung. Ibunya Yulvie dan kedua adiknya juga selalu menangis kalau mengingat Yulvie,” katanya.

Sesuai dengan kabar dari salah seorang teman Yulvie, Serly (19), kata Suprapto, anak kesayangannya itu ikut pengajian “al-Qur`an Suci” karena diajak oleh seorang perempuan tak dikenal di sebuah masjid di Kota Bandung.

http://www.antara.co.id/arc/2007/10/5/mahasiswi-hilang-misterius-diduga-ikut-aliran-sesat/

Polres Cirebon Deteksi Aliran Qur’an Suci

Cirebon, NU Online

Jajaran Polres Cirebon melakukan deteksi dini atas penyebaran ajaran sesat yang menamakan diri Al Quran Suci menyusul laporan hilangnya Tuffatul Maulidia (20), mahasiswi Akademi Analis Kesehatan “An Naser” Kaliwadas, Kab Cirebon, yang diduga ikut “hijrah” bersama aliran itu.

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10566

Aliran Sesat di Indonesia, Mengapa Semakin Merajalela?

AnTV. Jakarta, 28 Oktober 2007 – Aliran sesat atau aliran yang dianggap menyimpang saat ini semakin merajalela. Sebut saja aliran Ahmadiyah, Salamullah, Isa Bugis, Baha’i, Al Qur’an Suci dan yang baru-baru ini merebak Al Qidayah Al Islamiyah.

Ahmadiyah misalnya – yang mulai populer di indonesia pada tahun 2000-an, dianggap sesat karena mengakui keberadaan nabi lain yaitu Mirza Ghulam Ahmad yang berasal dari India, setelah Nabi Muhammad SAW. Meskipun tidak mengeluarkan syariat-syariat baru namun keresahan warga menyebabkan sejumlah basis Ahmadiyah di Kuningan – Jawa Barat dan Lombok – NTB dihancurkan massa.

Lalu kita juga mengenal aliran Salamullah, yang menghimpun semua agama dan dipopulerkan oleh Lia Aminuddin. Lia yang mengaku sebagai Imam Mahdi dan jelmaan roh Mariam juga mengeluarkan kitab suci yang dinamakan Ruhul Kudus. Putusan pengadilan membuat Lia kini mendekam di LP Pondok Bambu Jakarta.

Pertengahan tahun ini muncul aliran baru yaitu aliran Al Qur’an Suci di Bandung – Jawa Barat yang selain menafikan perlunya wudhu ketika beribadah sholat atau menghalalkan perzinahan, juga tidak mengakui keberadaan hadis. Seorang intelektual muda Bandung yang mantan pengikut aliran Al Qur’an Suci membagi pengalamannya

http://www.an.tv/s/?sid=4&newsid=7560


Ahmadiyah Paham Sesat - Menyesatkan dan Bukan Aliran (Mazhab) Islam

Raja Arab Saudi saat itu, Faisal, menganggap mereka sebagai aliran sesat dan melarang anggotanya di seluruh penjuru dunia memasuki kota suci Islam, seperti Makkah dan Madinah untuk menjalankan ibadah haji. Melalui Surat No 8/1/10/B-374/1401, tanggal 6 Mei 1981, Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta bahkan meminta Menteri Agama melarang Ahmadiyah dan menjelaskan kesesatan serta kekafirannya kepada seluruh masyarakat Indonesia....

Soal kesesatan Ahmadiyah, bukan rahasia lagi, terutama bagi lembaga-lem baga Islam di Indonesia. Pada 1980, Musyawarah nasional ke-2 Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan bahwa Ahmadiyah adalah jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Keputusan itu ditandatangani bersama antara Ketua dan Sekum MUI saat itu, masing-masing Buya HAMKA dan Drs. H. Kafrawi MA serta Menteri Agama RI ketika itu Alamsyah Ratu Prawiranegara, tanggal 17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan 1 Juni 1980 M.

Sikap kontra Ahmadiyah juga ditunjukkan sejumlah negara. Pakistan misalnya, menetapkan bahwa anggota Ahmadiyah, baik kelompok Qadian maupun Lahore adalah kelompok minoritas non-Muslim. Ketentuan ini bahkan dimuat dalam Undang-Undang Dasar negara Republik Islam Pakistan.

Arab Saudi malah jauh lebih maju. Raja Arab Saudi saat itu, Faisal, menganggap mereka sebagai aliran sesat dan melarang anggotanya di seluruh penjuru dunia memasuki kota suci Islam, seperti Makkah dan Madinah untuk menjalankan ibadah haji. Melalui Surat No 8/1/10/B-374/1401, tanggal 6 Mei 1981, Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta bahkan meminta Menteri Agama melarang Ahmadiyah dan menjelaskan kesesatan serta kekafirannya kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Rabithah Alam Islami, sebuah organisasi Islam dunia juga menyatakan Ahmadiyah Qadiyan adalah kafir dan keluar dari Islam. Jiran Indonesia, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam tidak ketinggalan mengambil sikap tegas terhadap Ahmadiyah: melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh teritorial mereka.
Sikap sejumlah negara itu sungguh paradoks dengan sikap Pemerintah Indonesia. Sejak pertama kali isu Ahmadiyah muncul, pemerintah cenderung cuek alias acuh tak acuh. Hingga detik ini, pemerintah belum melarang “agama” produk Mirza Ghulam Ahmad ini di seluruh wilayah Indonesia. Larangan tersebut baru bersikap lokal, sehingga aliran ini masih punya kesempatan besar untuk “memasarkan” ajarannya di republik ini.

Ironisnya, rekomendasi Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) Pusat yang terdiri dari sejumlah instansi seperti Polri, Kejakgung, Depag, Deplu, BIN, Deplu, MUI, sama sekali mandeg di Kejakgung. “Kejakgung tidak berwenang melarang, karena itu wewenang presiden langsung,” ujar Kasubid Pakem Kejakgung RI, Sutian Usman Adji, menangkis tudingan itu.

Sikap pemerintah itu langsung atau tidak langsung, memberi angin bagi Ahmadiyah. Gerakan Ahmadiyah merasa bebas hidup, seperti kelompok Islam lainnya. Bahkan sejak pertama kali masuk ke Indonesia, tahun 1925, jumlah pengikutnya semakin berkembang.

Pesatnya perkembangan Ahmadiyah dapat dilihat dari hasil investigasi Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), pimpinan Amin Djamaluddin. Tahun 1989, jumlah cabang Ahmadiyah disinyalir baru 150 cabang di seluruh Indonesia. Namun hanya dalam kurun waktu sepuluh tahun (1999), cabangnya membengkak menjadi 228 buah.

“Ini hasil investigasi kami selama dua puluh tahun. Fenomena ini tak lepas dari cita-cita mereka menjadikan Indonesia sebagai pusat Ahmadiyah dunia,” ujar pria kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sudah puluhan tahun malang melintang meneliti berbagai aliran dan paham sesat di Indonesia ini.
Setuju atau tidak, sikap pemerintah itu pula yang memicu pecahnya kasus Parung tanggal 15 Juli 2005 lalu. Lantaran kesal dengan ulah Ahmadiyah yang mengobok-obok akidah umat Islam dan kelambanan pemerintah menangani kasus ini, sepuluhan ribu umat Islam “menyerang” markas Ahmadiyah di Kampus Mubarak, Parung, Bogor. Beruntung para alim ulama segera turun, sehingga tindakan ini tidak mengarah anarkis dan tidak menimbulkan kerusakan berarti.

Belajar dari kasus Ahmadiyah, bagaimana sikap yang seharusnya diambil pemerintah? Pandangan Ketua Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Irfan S. Awwas layak disimak. Menurut Irfan, pemerintah tidak seharusnya membiarkan kehadiran berbagai aliran sesat terus-menerus meresahkan umat.
“Jika dibiarkan, niscaya akan terus menyulut bara api permusuhan yang dapat membakar siapa saja dan menghanguskan apa saja,” tegasnya, kesal dengan sikap segelintir tokoh yang mendukung gerakan Ahmadiyah seperti Dawam Rahardjo dan kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL), pimpinan Ulil Abshar Abdalla.

Irfan berpandangan, selama ini, terutama di era Soeharto, pemerintah cenderung “memelihara” berbagai aliran sesat di Indonesia. Pemerintah, menurut Irfan, juga cenderung menjadikan mereka sebagai basis dukungan politik, seperti terjadi pada Islam Jamaah (LDII).

Akibatnya, masih kata Irfan, muncul keresahan di masyarakat dan memicu munculnya Sikondomek (situasi kondisi domestik) berupa: Pertama, membuka peluang lahirnya praktik eigenrichting (main hakim sendiri). Kedua, memotivasi gerakan petualang untuk melakukan aksi radikal dengan mencari pembenaran atas nama agama. Ketiga, menegaskan berbagai aliran sesat itu merupakan sekte piaraan penguasa yang sengaja dibiarkan beroperasi sebagai agen ghazwul fikri.

Hal serupa dikemukakan Wakil Ketua KISDI KH A Kholil Ridwan. “Seyogianya pemerintah sudah lama menentukan sikap dengan tidak membiarkan berkembangnya ajaran yang merusak dan menodai Islam,” tulisnya pada sebuah surat kabar nasional.

Memang, tidaklah mungkin melarang setiap orang untuk memeluk suatu agama atau sekte tertentu, seperti Ahmadiyah, Islam Liberal, Islam Jamaah dan lainnya, namun tulisnya, negara bertanggung jawab melindungi agama dari berbagai upaya perusakan, sehingga ada sanksi pidana tentang penodaan agama. “Adalah absurd dan naif jika suatu negara membiarkan paham apa saja berkembang dan disebarluaskan secara bebas di negaranya,” tambah pimpinan Pondok Pesantren Husnayain ini.

Selain Ahmadiyah, berbagai aliran dan paham sesat tumbuh subur di Indonesia. Bersama perjalanan waktu, mereka berkembang dan membentuk jaringan ke seluruh Indonesia secara terus-menerus. Bahkan, mereka mulai menunjukkan gigi pasca-runtuhnya rezim Soeharto tahun 1998 lalu. Berbagai aliran dan paham sesat itu bermunculan, bak cendawan di musim hujan.

Satu di antaranya adalah Salamullah. Salamullah adalah aliran sesat yang menghimpun semua agama (parenialisme). Pendiri aliran ini bernama Lia Aminuddin. Kepada setiap orang, janda paruh baya ini mengaku mendapat wahyu dari Allah, sebagai nabi dan rasul.

Kesesatan Salamullah masih panjang. Selain mengaku sebagai nabi dan rasul, Lia mengangkat dan mengakui putranya, Ahmad Mukti, sebagai Nabi Isa. Berikutnya, Abdul Rahman, diyakininya sebagai Imam Besar Salamullah. Bahkan mencukur semua jenis rambut yang ada di tubuh, mulai dari kepala, ketiak dan lainnya, lalu membakarnya, dianggap sebagai bentuk ibadah yang diperintahkan Jibril, melalui Lia Aminuddin. Dan, menurut paham ini, barang siapa yang melakukan itu semua sama dengan bayi yang baru dilahirkan.

Paham Lia ini memicu sikap tegas MUI. Tahun 1997, MUI menganggap, paham Lia Aminuddin sebagai paham sesat dan meny
esatkan karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. MUI juga meminta pemerintah untuk melarang aliran ini. Sayangnya, hingga saat ini pemerintah belum juga menindak tegas aliran ini.

Ajaran Inkar Sunnah tak kalah sesatnya. Aliran yang marak sekitar 1980-an ini tidak percaya kepada semua hadits Rasulullah saw. Menurut mereka, hadits itu bikinan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dasar hukum dalam Islam, menurut mereka hanyalah al-Qur’an saja. Kewajiban berpuasa menurut paham ini, hanya wajib bagi orang yang melihat bulan. Sebaliknya, tidak wajib bagi orang yang tidak melihat bulan. Mereka berpendapat demikian merujuk pada ayat faman syahida minkumusy syahra fal yashumhu.

Menurut mereka, haji boleh dilakukan selama empat bulan haram, yaitu Muharram, Rajab, Zulqaidah dan Zulhijjah. Mereka tidak mengakui pakaian ihram sebagai pakaian haji. Bagi mereka, ihram adalah pakaian orang Arab dan bikin repot. Oleh karena itu, menurut aliran sempalan ini, waktu mengerjakan haji boleh memakai celana panjang dan baju biasa serta memakai jas atau dasi.

Setelah berbagai protes dari umat Islam bermunculan, tanggal 7 September 1985, Kejakgung mengeluarkan keputusan, melarang buku-buku Inkar Sunnah beredar di Indonesia. Namun dengan “memakai baju” lain, belakangan paham ini kembali muncul di tengah masyarakat. Mereka kembali mencetak berbagai buku dan menyebarkannya ke masyarakat secara gratis.

Cerita sempalan juga ada di balik Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Seperti disebut dalam Capita Selecta Aliran-aliran Sempalan di Indonesia, terbitan LPPI, (2002), LDII adalah nama baru dari aliran sempalan yang selama ini sudah berganti-ganti nama. Lembaga ini didirikan oleh mendiang Nurhasan Ubaidah Lubis. Tahun 1951, bernama Darul Hadits. Setelah dilarang Pakem Jawa Timur, aliran ini berubah nama menjadi Islam Jamaah. Kemudian Islam Jamaah ini pun dilarang. Agar bisa eksis, Nurhasan Ubaidah mendekati Wakil Kepala Bakin saat itu Ali Moertopo dan masuk menjadi underbouw Golkar. Ali Moertopo adalah seorang jenderal yang dikenal anti-Islam.

Di bawah naungan partai “Pohon Beringin”, Islam Jamaah makin berkibar, apalagi setelah mengubah nama dengan Lemkari. Namun kemudian pada musyawarah Lemkari IV di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta November 1990, Lemkari berganti nama menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Bagi pengikut Islam Jamaah/Lemkari/LDII, orang Islam di luar mereka adalah kafir dan najis. Jika ada orang di luar kelompok mereka yang melakukan shalat di masjid mereka, maka bekas tempat shalatnya dicuci karena dianggap sudah terkena najis.

Al-Qur’an dan Hadits yang boleh diterima para pengikut aliran sempalan ini adalah yang manqul atau yang keluar dari mulut imam atau amir mereka. Sementara Qur’an dan Sunnah yang keluar dari mulut orang lain dianggap haram untuk diikuti.

Persis aliran lainnya, meskipun dilarang, namun Islam Jamaah/Lemkari/LDII saat ini masih eksis. Mereka bebas menyebarkan pahamnya ke masyarakat. Bahkan cabangnya sudah menyebar ke seluruh nusantara. Tak hanya di kota, juga merambah ke daerah-daerah perpencil.

Saking banyaknya aliran dan paham nyeleneh di Indonesia, laporan ini belum bisa mengungkap semuanya. Yang pasti, sampai sekarang, meski sudah ada yang dilarang, toh tetap saja eksis dan menyebarkan pahamnya. Itu yang dilarang, apalagi yang belum keluar surat larangan. Sebut saja di antaranya, Ajaran Teguh Esha, Isa Bugis, Bijak Bestari, JIL, Lembaga Kerasulan.

Baru-baru ini juga muncul aliran sesat baru, seperti Pondok al-Mardhiyah, di Petemon, Surabaya, Jawa Timur dan paham “shalat bilingual” pimpinan Yusman Roy di Malang. Di Probolinggo, sebuah padepokan bernama Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam merilis buku tafsir yang isinya nyeleneh. Bukunya berjudul Menembus Gelap Menuju Terang. Di luar itu semua, masih banyak lagi. Membiarkan hidup aliran dan paham sempalan di Indonesia, apalagi yang sudah jelas-jelas kesesatannya, hanya akan mendatangkan kemudharatan. Jika ini terus berlanjut, tentu umat Islam tak kan tingal diam. Demi kemurnian akidah Islam, meski tak main hakim sendiri, umat Islam akan bersikap tegas, membasmi berbagai aliran dan paham sesat di Indonesia. Maka, sudah seharusnya pemerintah bertindak cepat, melarang paham sesat di seluruh wilayah Indonesia. Jika tidak, awas, bisa-bisa keduluan massa kaum Muslimin, yang tidak rela kemurnian agamanya dirusak.

Jika sejumlah negara seperti Pakistan, Arab Saudi, Brunei Darussalam dan Malaysia berani dengan tegas melarang paham dan aliran sesat dari negaranya, maka, mestinya Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia tidak membiarkan paham sesat itu berkambang. Tapi, mengapa republik ini seperti kegigit lidah? Bagaimana Pak Presiden?

[sabili]

Minggu, 11 Januari 2009

SEJARAH GAYO LUES DAN ACEH TENGGARA


GERHANA MATAHARI 2009

Hari Senin, 26 Januari 2009 mendatang, negeri kita akan mengalami gerhana matahari. Gerhana matahari yang terjadi, menurut ahli astronomi merupakan gerhana matahari annular (cincin) yaitu ukuran lingkaran bulan terlihat lebih kecil daripada lingkaran matahari, sehingga saat puncak gerhana, matahari akan terlihat sebagai cincin. Jalur Gerhana Matahari Annulus 2009 ini akan dimulai dari Samudera Hindia sekitar selatan perairan benua Afrika pada Pk 06.06 GMT (pk 15.06 WIB) kemudian menelusuri Samudera Hindia lalu masuk daratan Sumatera bagian Selatan, Kalimantan Barat-Tengah-Timur, sebagian propinsi Gorontalo sebelum berakhir di perairan Selatan Mindanao, Philipina pada Pk. 09.52 GMT (Pk. 18.52 WIB). Di Indonesia, gerhana matahari akan bermula pada pukul 15.20 WIB dan berakhir pada pukul 17.50 WIB, dengan puncak gerhana pada pukul 16.40 WIB. Gerhana ini bisa terlihat di wilayah Indonesia di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan.

Ironinya, banyak masyarakat awam yang tidak faham bagaimana menghadapi fenomena alami ini. Banyak diantara mereka yang mengaitkan kejadian alam ini dengan mitos-mitos dan keyakinan khurofat yang menyelisihi aqidah islamiyah. Di antara mereka ada yang meyakini bahwa di saat terjadinya gerhana, ada sesosok raksasa besar yang sedang berupaya menelan matahari sehingga wanita yang hamil disuruh bersembunyi di bawah tempat tidur dan masyarakat menumbuk lesung dan alu untuk mengusir raksasa. Di Tahiti, masyarakatnya meyakini bahwa bulan dan matahari adalah sepasang kekasih, sehingga apabila mereka berdekatan maka akan saling memadu kasih sehingga timbullah gerhana sebagai bentuk percintaan mereka. Sebagian masyarakat seringkali mengaitkan peristiwa gerhana dengan kejadian-kejadian tertentu, seperti adanya kematian atau kelahiran, dan kepercayaan ini dipercaya secara turun temurun sehingga menjadi keyakinan umum masyarakat.

Masyarakat Arab sendiri, mereka juga memiliki keyakinan bahwa gerhana terjadi terkait dengan kelahiran dan kematian orang tertentu. Oleh karena itu, ketika terjadi gerhana di zaman Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam pada hari putera terkasih beliau Ibrâhîm wafat, orang-orang mengatakan : “gerhana matahari ini terjadi oleh sebab wafatnya Ibrâhîm”. Mendengar hal ini, Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

إنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا ، فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى تَنْكَشِفَ

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda Allôh. Terjadinya gerhana matahari dan bulan itu bukanlah disebabkan oleh kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kalian mendapati kedua gerhana ini, maka berdoalah kepada Allôh dan sholatlah sampai selesainya gerhana.” (Muttafaq ‘alaihi dari Mughîrah bin Syu’bah Radhiyallâhu ‘anhu)

Disebabkan masih banyaknya masyarakat kita yang belum faham tentang masalah sholat gerhana, dan apa saja yang seharusnya kita lakukan di saat terjadinya gerhana, maka saya susun risalah ringkas ini, semoga dapat bermanfaat baik bagi diri penyusun sendiri, keluarganya, rekan-rekannya dan seluruh kaum muslimin. Penulis tidak lupa untuk meminta kepada rekan-rekan penuntut ilmu atau asâtidzah yang membaca risalah ini, apabila ada yang kurang tepat, keliru atau salah, maka penulis dengan lapang dada dan besar hati menerima segala nasehat, masukan dan kritikan yang konstruktif.

Definisi Gerhana (Kusûf dan Khusûf)

Kata Kusûf menurut bahasa artinya adalah at-Taghoyyar ila as-Sawâd (berubah menjadi gelap). Jika dikatakan kasafat hâluhu artinya jika keadaannya berubah, jika dikatakan kasafa wajhuhu apabila rona wajahnya berubah. Apabila dikatakan wa kasafat asy-Syamsu artinya apabila matahari mulai gelap dan cahayanya mulai pudar. (Fathul Bârî karya Ibnu Hajar II/526).

Kata Khusûf secara bahasa artinya adalah an-Nuqshôn (berkurang). Jika dikatakan ‘ainun khâsifah artinya adalah apabila pengelihatannya sudah tidak tajam lagi. Jika dikatakan Bi`ru makhsufah, artinya adalah apabila airnya telah terkuras habis. (al-I’lâm bi Fawâ`idi ‘Umdatil Ahkâm IV/264)

Jadi, apabila dikatakan kusûf atau khusûf asy-Syamsi wal Qomari artinya adalah perubahan dan berkurangnya cahaya matahari dan bulan, dan kedua kata ini bermakna satu. (al-Mughnî V/321).

Kusuf dan Khusûf menurut terminologi bermakna tertutupnya cahaya matahari atau bulan atau sebagiannya oleh sebab hal yang lazim/alami, yang Allôh memaksudkannya untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, kata kusûf dan khusûf adalah sinonim (mutarôdif) yang bermakna satu. Jadi boleh dikatakan kasafat asy-Syamsu wa khosafat dan kasafa al-Qomaru wal khosafa. (asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zâdil Mustaqni’ V/229)

Adapula yang berpendapat bahwa kusûf adalah khusus untuk matahari sedangkan khusûf adalah khusus untuk bulan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Tsa’lab, dan dikatakan lebih fasih oleh al-Jauharî. (Subulus Salâm II/496).

Yang râjih adalah, apabila kata kusûf dan khusûf disebutkan berbarengan maka artinya berbeda, kusûf untuk gerhana matahari dan khusûf untuk gerhana bulan. Namun, apabila disebutkan secara bersendirian, maka bermakna satu, yaitu satu dengan lainnya saling mencakup. Dan pendapat inilah yang dipegang oleh Faqîhuz Zamân, al-‘Allâmah Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullâhu. Wallôhu a’lâm. (asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâdil Mustaqni’ V/229)

Hukum Sholat Gerhana

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum sholat gerhana. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa sholat gerhana hukumnya adalah sunnah mu`akkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Bahkan sampai ada yang mengklaim bahwa hukum sunnah mu`akkadah ini adalah dengan dasar ittifaq al-Fuqohâ` (kesepakatan ulama ahli fikih). Imam Nawawî rahimahullâhu juga berpendapat demikian, beliau mengatakan:

وأجمع العلماء على أنها سنة

“Para ulama berkonsensus bahwa hukum sholat gerhana adalah sunnah” (Syarh Shahîh Muslim VI/451)

Pendapat Imam Nawawî ini perlu ditinjau ulang. Sebab, ada sebagian ulama yang berpandangan bahwa sholat gerhana hukumnya adalah wajib. Sebagaimana dituturkan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâhu, beliau berkata :

فالجمهور على أنها سنة مؤكدة، وصرح أبو عوانة في صحيحه بوجوبها، ولم أره لغيره، إلا ما حُكي عن مالك أنه أجراها مجرى الجمعة، ونقل الزين بن المنير عن أبي حنيفة أنه أوجبها، وكذا نقل عن بعض مصنفي الحنفية أنها واجبة

“Jumhur berpendapat bahwa hukumnya (sholat gerhana) adalah sunnah mu`akkadah. Abû ‘Awânah menegaskan di dalam Shahîh-nya bahwa hukumnya wajib. Saya tidak melihat ada orang lain yang berpendapat demikian, kecuali yang diriwayatkan dari Mâlik bahwa beliau menganggap pelaksanannya sama dengan sholat Jum’at. Az-Zain bin al-Munîr mengutip dari Abu Hanifah bahwa beliau mewajibkanya, demikian pula dinukil dari sebagian penulis Mushonnaf yang bermadzhab Hanafiyah bahwa sholat gerhana hukumnya wajib.” (Fath al-Bârî II/527)

Ahli Tafsir kontemporer, al-‘Allâmah as-Sa’dî rahimahullâhu mengatakan :

وقال بعض العلماء بوجوب صلاة الكسوف؛ لأن النبي r فعلها وأمر بها

“Sebagian ulama berpendapat akan wajibnya sholat gerhana, sebab Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam mengamalkan dan memerintahkannya.” (al-Mukhtârât al-Jalîyah minal Masâ`ili al-Fiqhîyah hal. 73)

Pendapat yang râjih adalah : sholat gerhana hukumnya adalah wajib. Sebagaimana dituturkan oleh Faqîh az-Zamân, al-‘Allâmah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâhu beliau berkata :

“Sebagian ulama berpendapat bahwa sholat gerhana wajib hukumnya, dengan dasar sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam : “Apabila kalian melihat gerhana, maka sholatlah”. Ibnul Qoyyim berkata di dalam buku beliau, Kitâb ash-Sholâh, pendapat yang kuat dalam masalah ini yaitu wajib hukumnya. Beliau rahimahullâhu benar, sebab Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan sholat gerhana dan beliau sendiri keluar (dari rumahnya) dalam keadaan ketakutan. Beliau berkata bahwa (hikmah syar’i terjadinya) gerhana untuk menakuti (manusia). Nabi pun berkhutbah dengan khutbah yang agung dan dipaparkan kepada beliau surga dan neraka. Kesemua ini merupakan indikasi (qorînah) yang besar atas kewajiban sholat gerhana. Seandainya kita katakan bahwa sholat gerhana tidak wajib, sedangkan manusia di kala terjadinya gerhana mereka meninggalkan sholat, padahal ada perintah dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dan ada penekanan untuk melaksanakannya, namun mereka dianggap tidak berdosa. Maka pendapat ini perlu diteliti kembali. Bagaimana mungkin gerhana itu untuk menakuti manusia namun kita tidak memperdulikannya seakan-akan ini suatu hal yang biasa. Lantas di mana rasa takut kita? Sungguh pendapat (Ibnul Qoyyim) ini adalah pendapat yang sangat kuat. Saya tidaklah memandang bahwa manusia ketika mendapati gerhana matahari atau bulan, kemudian mereka tidak mempedulikannya, semuanya sibuk dengan perniagaannya, sibuk dengan bersenda gurau, dan semuanya sibuk dengan perkebunannya. Maka hal ini dikhawatirkan akan menjadi penyebab turunnya hukuman yang Allôh telah memperingatkannya dengan terjadinya gerhana ini. Maka pendapat akan wajibnya sholat gerhana lebih kuat ketimbang pendapat yang menyatakan sunnah.” (asy-Syarh al-Mumti’ V/237-240)

Pendapat ini pula yang dipegang oleh Syaikhunâ Masyhur Hasan Âlu Salmân hafizhahullâhu di dalam buku beliau al-Qoul Mubîn fî Akthâ’il Mushollîn.

Adab & Anjuran Ketika Terjadi Gerhana

Ketika terjadi gerhana, baik gerhana matahari dan bulan, dianjurkan dan disunnahkan untuk melakukan sebagai berikut :

1. Merasa takut kepada Allôh Ta’âlâ di kala terjadi gerhana. Sebagaimana sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi Sallam :

إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله، لا ينكسفان لموت أحد، ولكن الله يخوِّف بهما عباده

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda diantara tanda-tanda Allôh. Gerhana matahari dan bulan terjadi bukan disebabkan oleh kematian seseorang. Akan tetapi Allôh bermaksud menakuti hamba-hamba-Nya dengannya.” (HR Bukhârî)

Di dalam hadits Abû Burdah dari Abû Mûsâ Radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata :

خسفت الشمس فقام النبي r فَزِعًا يخشى أن تكون الساعة، فأتى المسجد فصلى بأطول قيام، وركوع، وسجود رأيته قط يفعله، وقال: ((هذه الآيات التي يرسل الله لا تكون لموت أحد ولا لحياته،ولكن يخوِّف الله بها عباده،فإذا رأيتم شيئًا من ذلك فافزعوا إلى ذكر الله ودعائه، واستغفاره))

“Ketika terjadi gerhana matahari, Nabi Shallallâhu ‘alaihi Sallam sontak berdiri terkejut dan merasa ketakutan kiamat akan datang. Beliau lantas pergi ke masjid dan melakukan sholat yang panjang berdiri, ruku’ dan sujudnya. Aku melihat beliau begitu ajegnya melakukannya. Setelah itu Nabi bersabda : “Gerhana ini adalah tanda-tanda yang Allôh mengutusnya bukan disebabkan karena kematian atau kelahiran seseorang. Namun gerhana ini diutus supaya Allôh menakuti hamba-hamba-Nya. Apabila kalian melihat sesuatu dari gerhana, maka takutlah dan bersegeralah berdzikir kepada Allôh, berdoa dan memohon pengampunan-Nya.” (Muttafaq ‘Alaihi)

Al-Hâfizh berkata : “Bisa jadi ketakutan Nabi Shallallâhu ‘alaihi Sallam ketika terjadinya gerhana merupakan pendahuluan terjadinya tanda-tanda kiamat (besar), seperti terbitnya matahari dari barat. Bukanlah suatu hal yang mustahil terjadinya gerhana merupakan perantara terbitnya matahari (dari timur) dengan terbitnya matahari (dari barat)…” (Fathul Bârî II/546)

Jadi, hendaknya seorang mukmin tatkala mendapati gerhana, ia merasa takut kepada Allôh Ta’âlâ, khawatir Allôh akan menurunkan adzabnya kepada kita. Apabila Nabi yang mulia ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm saja merasa takut, padahal beliau adalah hamba Allôh yang paling dicintai Allôh, lantas mengapa kita melewati waktu gerhana dengan perasaan biasa saja, bahkan kita lalui dengan perbuatan-perbuatan yang sia-sia, bahkan maksiat.

2. Berusaha menghadirkan apa yang dilihat oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam berupa perkara­-perkara besar yang dilihat beliau ketika sholat gerhana. Hal ini akan membuahkan rasa takut kepada Allôh Ta’âlâ. Karena Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam di dalam sholat gerhana, melihat surga dan neraka. Beliau sampai-sampai berhasrat hendak meraih setandan buah dari surga sehingga beliau merasa gembira. Beliau juga melihat beberapa bentuk siksa api neraka. Beliau melihat seorang wanita yang diadzab oleh sebab kucingnya, beliau melihat ‘Amrû bin Luhay menyeret ususnya di api neraka dan dia adalah orang pertama yang merubah agama Ibrâhîm ‘alaihi as-Salâm. Dan beliau melihat bahwa penghuni neraka terbanyak adalah kaum wanita, disebabkan mereka seringkali membangkang untuk berlaku baik terhadap suaminya.

Dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallâhu ‘anhumâ beliau berkata bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda selepas gerhana :

إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله لا يخسفان لموت أحد ولا لحياته، فإذا رأيتم ذلك فاذكروا الله

“Sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda dari tanda-tanda Allôh. Gerhana matahari dan bumi tidaklah terjadi oleh sebab kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kalian melihat gerhana maka berdzikirlah kepada Allôh.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh, kami melihat Anda sedang meraih sesuatu di tengah sholat kemudian kami melihat Anda mundur ke belakang.”

Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menjawab :

إني رأيت الجنة فتناولت منها عنقودًا، ولو أصبته لأكلتم منه ما بقيت الدنيا، ورأيت النار فلم أرَ منظرًا كاليوم قط أفظع، ورأيت أكثر أهلها النساء

“Sesungguhnya aku tadi melihat surga dan aku tadi berupaya meraih setandan buah-buahan darinya. Seandainya kamu mendapatkannya dan memakannya, niscaya kamu (tidak butuh lagi makanan) di dunia. Kemudian aku melihat neraka dan belum pernah aku melihat pemandangan yang ngerinya seperti itu. Dan kulihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita.”

Para sahabat bertanya, “Oleh sebab apa wahai Rasûlullâh?” Rasûlullâh menjawab, “oleh sebab kekufuran mereka”. Mereka bertanya lagi, “apa karena mereka kufur kepada Allôh?”. Rasûlullâh menjawab :

يكفرن العشير ويكفرن الإحسان، لو أحسنت إلى إحداهن الدهر كلَّه، ثم رأت منك شيئًا قالت: ما رأيت منك خيرًا قط

“Mereka mengkufuri suami dan kebaikannya. Apabila kalian berbuat baik kepada salah seorang dari wanita setiap waktu, kemudian dia melihat ada sesuatu yang kurang baik darimu, dia akan berkata : “aku tidak pernah melihatmu berbuat baik sedikitpun.”.” (Muttafaq ‘alaihi)

3. Menyeru untuk melakukan sholat jama’ah. Sebagaimana dalam hadits ‘Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallâhu ‘anhumâ beliau berkata :

لَمّا كسفت الشمس على عهد رسول الله r نودي: إن الصلاة جامعة

“Ketika terjadi gerhana matahari di zaman Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, diserukan : “Sesungguhnya sholat secara berjama’ah”.” (Muttafaq ‘alayhi)

Juga sebagaimana di dalam hadits ‘Â`isyah Radhiyallâhu anhâ beliau berkata :

خسفت الشمس على عهد رسول الله r، فأمر النبي r مناديًا ينادي أن الصلاة جامعة، فاجتمعوا واصطفوا فصلى بهم أربع ركعات في ركعتين وأربع سجدات

“Pada zaman Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam terjadi gerhana matahari, lalu Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan untuk menyerukan sholat secara berjama’ah. Kemudian para sahabat berkumpul dan berbaris melakukan sholat empat kali ruku’ dan sujud di dalam dua rakaat.” (HR an-Nasâ`î dan Abû Dâwud, dishahihkan oleh al-Albânî di dalam Irwâ` al-Gholîl no 658).

4. Tidak ada adzan dan iqomah pada sholat gerhana. Karena Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam melakukan sholat gerhana tanpa adzan dan iqomah. Barangsiapa yang melakukan sholat gerhana secara berjama’ah diawali dengan adzan dan iqomah, maka ia harus menunjukkan dasar dan tuntunannya dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.

Al-Hâfizh Ibnu Hajar menukil ucapan Ibnu Daqîq al-Îd tentang sholat gerhana, beliau rahimahullâhu berkata :

وقد اتفقوا على أنه لا يُؤَذَّنُ لها ولا يُقام

“Telah sepakat para ulama bahwa sholat gerhana tidak ada adzan dan iqomah…” (Fathul Bârî II/533)

Al-Imâm Ibnu al-Qudâmah rahimahullâhu berkata :

ويُسَنُّ أن ينادى لها: الصلاة جامعة.. ولا يسن لها أذان ولا إقامة

“Disunnahkan untuk menyerukan di sholat gerhana dengan ash-Sholâh Jâmi’ah… dan tidak disunnahkan melakukan adzan dan iqomah.” (al-Mughnî III/323)

5. Mengeraskan bacaan ketika sholat gerhana. Dan mengeraskan bacaan ini hukumnya adalah sunnah, sebagaimana dalam hadits ‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ beliau berkata :

جهر النبي r في صلاة الكسوف بقراءته، فإذا فرغ من قراءته كبَّر فركع، وإذا رفع من الركعة قال: ((سمع الله لمن حمدهُ ربنا ولك الحمد)) ثم يعاود القراءة في صلاة الكسوف أربع ركعات في ركعتين، وأربع سجدات

“Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam mengeraskan bacaan beliau ketika sholat gerhana. Apabila beliau selesai membaca al-Qur`ân, maka beliau bertakbir kemudian ruku’. Ketika bangkit dari ruku’ beliau mengucapkan Sami’a-Llôhu liman hamidahu Robbanâ walaka-l hamdu, kemudian beliau mengulangi membaca al-Qur`an di sholat gerhana sebanyak empat ruku’ dan sujud dalam dua raka’at.” (Muttafaq ‘alaihi)

Para ulama berbeda pendapat tentang mengeraskan bacaan di sholat gerhana. Hanafiyah berpendapat bahwa sholat kusuf (gerhana matahari) dilakukan dengan sirr (lirih) dengan argumentasi bahwa hukum asal sholat di siang hari adalah dengan bacaan lirih. Adapun sholat khusûf dilakukan secara sendiri-sendiri dengan bacaan yang lirih. Mâlikiyah dan Syâfi’iyah berpendapat, sholat gerhana matahari dilakukan dengan lirih karena dilakukan di siang hari, sedangkan sholat gerhana bulan dilakukan dengan jahr (bacaan keras) karena dilakukan pada malam hari. Hanâbilah berpendapat bahwa sholat gerhana matahari dan bulan, kedua-duanya dilakukan dengan mengeraskan bacaan.

Yang lebih râjih adalah, mengeraskan bacaan ini dilakukan baik untuk sholat gerhana di siang hari ataupun sholat gerhana di malam hari, sebagaimana dalam hadits ‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ di atas. Sebab, sunnah yang disyariatkan di dalam sholat jama’ah adalah mengeraskan bacaan, sebagaimana di dalam sholat istisqô’ (sholat minta hujan), sholat Îd dan sholat Tarâwîh. Demikianlah pendapat yang lebih râjih insyâ Allôh dan pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Ibnu Qudâmah dan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah.

6. Melakukan sholat gerhana secara berjama’ah di masjid. Sebagaimana dalam hadits Â’isyah Radhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata :

خرج النبي صلى الله عليه وسلم إلى المسجد، فقام وكبر، وصف الناس وراءه

“Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju ke masjid, kemudian beliau berdiri dan bertakbir, sedangkan manusia berbaris di belakang beliau.” (Muttafaq ‘alaihi)

Para ulama berbeda pendapat tentang disyariatkannya jama’ah pada sholat gerhana. Mereka membedakan antara sholat kusûf (gerhana matahari) dan khusûf (gerhana bulan).

Ulama ahli fikih bersepakat bahwa sholat gerhana matahari disunnah untuk dilaksanakan secara berjama’ah di masjid dan diserukan sebelumnya dengan seruan : “ash-Sholatu Jâmi’ah”. Syâfi’iyah dan Hanâbilah memperbolehkan untuk melakukannya secara sendiri-sendiri (munfarid), dengan alasan berjama’ah hanyalah sebatas sunnah saja, bukanlah merupakan syarat. Sedangkan Hanafiyah berpendapat, apabila imam tidak datang, maka manusia boleh sholat sendiri-sendiri di rumah mereka.

Adapun sholat gerhana bulan, Hanafiyah dan Mâlikiyah berpendapat lebih disukai untuk melaksanakannya secara munfarid sebagaimana sholat-sholat sunnah lainnya. Sebab, menurut mereka, sholat gerhana bulan belum pernah ada yang menukilkan pernah dilaksanakan oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, padahal gerhana bulan itu lebih sering terjadi ketimbang gerhana matahari. Mereka juga beralasan bahwa hukum asal sholat yang bukan wajib adalah tidak dilaksanakan secara berjama’ah dan dilakukan di rumah, sebagaimana sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :

صلاة الرجل في بيته أفضل إلا المكتوبة

“Sholatnya seseorang di rumahnya adalah lebih utama, kecuali sholat yang wajib.”

Kecuali, apabila ada dalil khusus yang menunjukkan pelaksanaannya secara berjama’ah, seperti sholat îd, tarawih dan gerhana matahari. Menurut mereka, berkumpul pada malam hari dapat menyebabkan timbulnya fitnah.

Sedangkan Syâfi’iyah dan Hanâbilah berpendapat bahwa sholat gerhana bulan (khusûf) dilakukan secara berjama’ah sebagaimana sholat gerhana matahari (kusûf). Mereka juga melandaskan pendapatnya dengan riwayat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallâhu ‘anhumâ yang melakukan sholat gerhana bulan bersama manusia di masjid, beliau berkata :

صليت كما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Saya melakukan sholat sebagaimana saya melihat Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam melakukannya.”

Sebagaimana pula di dalam hadits Mahmûd bin Lubaid, beliau mengatakan :

فإذا رأيتموها كذلك فافزعوا إلى المساجد

“Apabila kalian melihat gerhana bulan, maka bersegeralah ke masjid.”

Pendapat yang râjih adalah, tidak ada bedanya antara sholat gerhana matahari dan bulan. Disunnahkan untuk melakukannya secara berjama’ah di masjid, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Qudâmah. Walaupun dibolehkan melakukannya secara sendiri-sendiri, namun mengamalkannya secara berjama’ah adalah lebih utama, sebab nabi melakukan sholat gerhana secara berjama’ah dan disunnahkan untuk mengamalkannya di masjid. (al-Mughnî III/323)

Wallôhu a’lam bish showâb.

7. Wanita juga ikut sholat gerhana. Sebagaimana ‘Â`isyah dan Asmâ` Radhiyallâhu ‘anhumâ melakukan sholat gerhana bersama Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Dari Asmâ` binti Abî Bakr Radhiyallâhu ‘anhumâ beliau berkata :

أتيت عائشة رضي الله عنها زوج النبي r حين خسفت الشمس فإذا الناس قيام يصلون، وإذا هي قائمة تصلي، فقلت: ما للناس؟ فأشارت بيدها إلى السماء، وقالت: سبحان الله، فقلتُ: آية؟ فأشارت أي نعم

“Saya mendatangi ‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ, isteri Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam ketika terhadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan sholat. Ketika beliau (‘Â`isyah) turut berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya : “Kenapa orang-orang ini?”. Beliau mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, “maha suci Allôh”. Saya bertanya : “tanda (gerhana)?”, beliau memberikan isyarat untuk mengatakan iya…”

Imam Bukhârî membuat bab di dalam Shahîh-nya “Bâb ash-Sholâh an-Nisâ` ma’a ar-Rijâl fî al-Kusûf” (Bab tentang sholatnya kaum wanita bersama pria di sholat gerhana). Al-Hâfizh mengomentari : “Beliau menunjukkan dengan bab ini untuk membantah orang yang berpendapat dilarangnya wanita sholat gerhana” (Fath al-Bârî II/543). Imam Nawawî mengatakan : “hal ini menunjukkan disunnahkannya sholat gerhana bagi wanita, dan posisinya di belakang kaum pria.” (Syarh Shahîh Muslim VI/462).

8. Sholat gerhana juga dilakukan walaupun dalam keadaan safar. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :

إن الشمس والقمر لا يخسفان لموت أحد ولا لحياته، ولكنهما آيتان من آيات الله فإذا رأيتموهما فصلوا

“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan terjadi bukanlah disebabkan oleh kematian atau kelahiran seseorang, namun keduanya merupakan dua tanda dari tanda-tanda Allôh. Apabila kalian melihatnya, maka sholatlah!.” (HR Bukhârî)

Imam Ibnu Qudâmah rahimahullâhu berkata :

وتشرع في الحضر والسفر، بإذن الإمام وغير إذنه

“Disyariatkan sholat gerhana baik dalam keadaan menetap maupun bepergian (safar), baik dengan izin imam maupun tanpa izin imam.” (al-Mughnî III/322)

Bersambung insyâ Allôh